Beberapa hari lalu saya melihat berita di stasiun televisi lokal
milik pemerintah. Ada yang menarik perhatian saya karena ada berita
tentang masalah perbatasan. Belakangan ini memang masalah perbatasan
sedang ramai diperbincangkan. Tidak hanya di media elektronik, media
cetak pun ramai memberitakan. Apalagi sejak mencuatnya isu seputar
pencaplokkan wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datu, di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat oleh Malaysia dari wilayah NKRI.
Tapi berita yang saya lihat beberapa hari yang lalu bukan masalah
pencaplokan Camar Bulan dan Tanjung Datu oleh Malaysia, melainkan
tentang ancaman warga di Kabupaten Malinau yang ingin memindahkan patok-patok di perbatasan. Kabupaten Malinau sendiri merupakan salah satu dari tiga kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Sementara dua kabupaten yang lain yaitu Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Nunukan.
Dari berita itu disebutkan bahwa warga di tiga kecamatan yang termasuk wilayah Kabupaten Malinau, yaitu warga di Kecamatan Kayan Hilir, Kayan Hulu dan Kayan Selatan
mengancam akan memindahkan patok-patok batas negara agar lebih menjorok
ke wilayah Indonesia. Kalo hal ini benar-benar dilakukan, maka sudah
dapat dipastikan wilayah Malaysia luasnya akan bertambah. Pemicu yang
mengakibatkan warga mengancam untuk memindahkan patok-patok perbatasan
itu disebabkan oleh karena mereka merasa kurang mendapat perhatian dari
pemerintah pusat selama ini. Tidah hanya dalam hal infrastruktur atau
prasarana yang memadai, tapi juga dalam pemenuhan kebutuhan pokok.
Sudah sejak lama warga di tiga kecamatan diatas merasakan betapa
sulitnya mereka mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok. Selama ini
seluruh kebutuhan pokok warga seperti bahan makanan, bahan bakar minyak,
dan beberapa barang kebutuhan lainnya dibeli dan didatangkan dari
Malaysia. Sempat saya lihat seorang warga yang memperlihatkan barang
dagangan yang dijual di warung kecilnya seperti produk minyak goreng,
susu kotak merek “Milo”, dan juga makanan kaleng kemasan semacam sarden
dan kornet yang berlabel Malaysia. Padahal di Indonesia, produk-produk
sejenis itu sangat berlimpah pabriknya. Dan yang lebih menyesakkan dada
saya adalah ditempat itu pula berderet beberapa tabung gas elpiji yang
saya tahu pasti jika dilihat dari warnanya itu adalah tabung gas elpiji
milik Malaysia. Benar-benar tidak habis pikir saya, bukankah di
Kalimantan Timur terdapat ladang minyak, khususnya di Kota Bontang
malahan terdapat pabrik pengolahan gas elpiji terbesar di Indonesia
bahkan kualitasnya diakui merupakan yang terbaik secara internasional
sehingga biasa dipesan oleh negara Korea, Taiwan, dan Jepang. Sungguh
suatu ironi, penghasil bahan bakar tapi justru membeli bahan bakar dari
negara lain. Ini namanya ibarat “mati lampu diladang minyak.”
Sungguh ironis memang, disaat pemerintah gencar mengkampanyekan produk
dalam negeri, tapi di negeri sendiri produk itu sulit didapatkan. Saya
mengutip kata-kata Bang Haji Rhoma Irama “terlalu!”
Yang lebih menyedihkan lagi, semua barang-barang kebutuhan warga itu
dibeli dengan harga yang sangat mahal, tapi apa boleh buat harus tetap
dibeli. Hal tersebut terpaksa dilakukan warga karena tidak ada lagi
alternatif lain yang dapat dilakukan untuk bertahan hidup selain membeli
dari wilayah Malaysia. Berharap ada barang kebutuhan “made in” dalam
negeri adalah hal yang jauh dari harapan. Dari dulu justru bahan-bahan
kebutuhan pokok itu lebih mudah didapatkan dari produk Malaysia.
Walaupun harganya lebih mahal, untuk mendapatkannya pun mereka tidak
terlalu susah. Ibarat kata tinggal “nyebrang” ke negara tetangga, bahkan
dengan jalan kaki pun bisa. Bagaimana tidak mudah karena ternyata
infrastruktur di Malaysia jauh lebih bagus daripada di Indonesia.
Pemerintah Malaysia sangat memperhatikan sarana jalan di wilayah itu,
meskipun terletak di perbatasan. Walaupun tidak di aspal, tapi minimal
sudah rata dan bersih. Begitu pula dengan pemukiman penduduknya, tertata
dengan rapi. Hal ini beda sekali dengan yang saya lihat di tayangan
televisi waktu itu. Jalanan di perbatasan yang merupakan wilayah
Indonesia sangat-sangat memprihatinkan. Sudah jalannya tidak rata,
berlumpur, dan kelihatan kotor. Jangankan untuk lewat kendaraan roda
empat, kendaraan roda dua aja mesti didorong oleh penumpangnya kalo
tidak ingin terperosok ke dalam kubangan lumpur. Pemukimana penduduknya
juga tidak tertata rapi dan cenderung kotor. Benar-benar pemandangan
yang kontras, padahal kedua negara ini hanya berjarak beberapa meter dan
hanya dibatasi oleh pos perbatasan yang sangat sederhana. Ya seperti
yang saya lihat di tayangan televisi itu pula, pos penjagaan di
perbatasan sungguh sangat sederhana. Hanya berupa bangunan yang menurut
saya hanya semi permanen dengan peralatan yang seadanya pula. Bagaimana
mungkin hal yang seperti ini luput dari perhatian pemerintah. Ini pos
penjagaan perbatasan, bukan pos kamling! Jangankan persenjataan lengkap,
alat pendeteksi semacam radar saja tidak ada. Bagaimana pertahanan kita
seandainya diserang musuh? Bagaimana nih Pak Menteri Hankam?
Ternyata penderitaan warga di perbatasan tidak sebatas itu
. Kondisi ini
ternyata makin sulit dirasakan warga ketika isu seputar perbatasan
Indonesia-Malaysia kembali mencuat akhir-akhir ini. Memanasnya situasi
ini ternyata membuat Malaysia berusaha memutus akses jalan yang biasa
dilalui warga jika hendak berbelanja kebutuhan pokoknya. Bisa kita
bayangkan bukan, kemungkinan besar ketiga kecamatan di perbatasan itu
akan terancam krisis kebutuhan. Dan bisa dipastikan yang akan terjadi
selanjutnya, aktifitas perekonomian di wilayah itupun bisa lumpuh.
Akibat yang jelas-jelas kentara adalah melonjaknya harga bahan-bahan
kebutuhan itu hingga sepuluh kali lipat dari harga biasanya. Begitulah
kira-kira nasib para warga di tiga kecamatan dekat perbatasan itu.
Kondisi ini sebenarnya harus cepat direspon oleh pemerintah pusat agar
kesulitan warga di perbatasan cepat teratasi. Kalo pemerintah pusat
tidak tanggap dan lamban dalam bertindak, dikhawatirkan kekecewaan warga
diperbatasan ini akan memuncak. Dan karena kehilangan kesabaran, maka
bisa-bisa rasa nasionalisme mereka hilang dengan “menggadaikan”
wilayahnya ke Malaysia. Bisa-bisa mereka benar-benar membuktikan ancaman
mereka yang berniat memindahkan patok-patok di perbatasan. Kalo sudah
begini, siapa yang pantas disalahkan?
Menurut saya ini sebenarnya bukan sekedar persoalan warga Indonesia di
perbatasan yang tak cinta negeri ini. Tapi lebih dikarenakan adanya
faktor ekonomi. Mereka memilih mendapatkan kehidupan yang lebih layak,
khususnya dalam hal memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang ternyata
lebih mudah didapatkan dari negeri tetangga itu.
Guna mencegah hal ini terjadi, maka tentunya harus ada perhatian lebih
dari pemerintah, baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Pemerintah provinsi pun harus terus berupaya untuk membangun kawasan di
perbatasan. Dan karena ini sudah menyangkut masalah kedaulatan NKRI,
maka hal ini tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah provinsi.
Kalo hanya pemerintah daerah, saya yakin masalah ini tidak akan pernah
tuntas. Kita tentu sepakat dengan ungkapan “hilangnya uang tak sebanding
dengan kita kehilangan kedaulatan NKRI” bukan? Jadi alangkah baiknya
jika cerita seputar perbatasan ini segera saja dituntaskan. Memang tidak
mudah, tapi kalo kita tidak segera bertindak ya jangan salahkan mereka
para warga di perbatasan yang kecewa itu. Minimal harus ada alokasi
anggaran untuk pembangunan di perbatasan. Perbatasan itu kan wilayah
NKRI juga, ya tho?
Jadi alangkah tidak lucunya jika kita sibuk mendengungkan kembali esensi dari Sumpah Pemuda kemarin, “Kami
Bangsa Indonesia mengaku, bertumpah darah satu, tanah air Indonesia,
berbangsa yang satu bangsa Indonesia, menjunjung bahasa persatuan,
bahasa Indonesia, sementara ada sebagian warganya yang
kebetulan berada di perbatasan, tapi karena merasa tidak di perhatikan
kesejahteraannya oleh pemerintah dengan sangat terpaksa tidak merasakan
kebanggaannya sebagai Bangsa Indonesia itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah..... karena Indonesia demokrasi...