Sabtu, 05 Januari 2013

alangkah tidak lucunya jika kita sibuk mendengungkan kembali esensi dari Sumpah Pemuda kemarin



Beberapa hari lalu saya melihat berita di stasiun televisi lokal milik pemerintah. Ada yang menarik perhatian saya karena ada berita tentang masalah perbatasan. Belakangan ini memang masalah perbatasan sedang ramai diperbincangkan. Tidak hanya di media elektronik, media cetak pun ramai memberitakan. Apalagi sejak mencuatnya isu seputar pencaplokkan wilayah Camar Bulan dan Tanjung Datu, di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat oleh Malaysia dari wilayah NKRI.
Tapi berita yang saya lihat beberapa hari yang lalu bukan masalah pencaplokan Camar Bulan dan Tanjung Datu oleh Malaysia, melainkan tentang ancaman warga di Kabupaten Malinau yang ingin memindahkan patok-patok di perbatasan. Kabupaten Malinau sendiri merupakan salah satu dari tiga kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Sementara dua kabupaten yang lain yaitu Kabupaten Kutai Barat dan Kabupaten Nunukan.

Dari berita itu disebutkan bahwa warga di tiga kecamatan yang termasuk wilayah Kabupaten Malinau, yaitu warga di Kecamatan Kayan Hilir, Kayan Hulu dan Kayan Selatan mengancam akan memindahkan patok-patok batas negara agar lebih menjorok ke wilayah Indonesia. Kalo hal ini benar-benar dilakukan, maka sudah dapat dipastikan wilayah Malaysia luasnya akan bertambah. Pemicu yang mengakibatkan warga mengancam untuk memindahkan patok-patok perbatasan itu disebabkan oleh karena mereka merasa kurang mendapat perhatian dari pemerintah pusat selama ini. Tidah hanya dalam hal infrastruktur atau prasarana yang memadai, tapi juga dalam pemenuhan kebutuhan pokok.
Sudah sejak lama warga di tiga kecamatan diatas merasakan betapa sulitnya mereka mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok. Selama ini seluruh kebutuhan pokok warga seperti bahan makanan, bahan bakar minyak, dan beberapa barang kebutuhan lainnya dibeli dan didatangkan dari Malaysia. Sempat saya lihat seorang warga yang memperlihatkan barang dagangan yang dijual di warung kecilnya seperti produk minyak goreng, susu kotak merek “Milo”, dan juga makanan kaleng kemasan semacam sarden dan kornet yang berlabel Malaysia. Padahal di Indonesia, produk-produk sejenis itu sangat berlimpah pabriknya. Dan yang lebih menyesakkan dada saya adalah ditempat itu pula berderet beberapa tabung gas elpiji yang saya tahu pasti jika dilihat dari warnanya itu adalah tabung gas elpiji milik Malaysia. Benar-benar tidak habis pikir saya, bukankah di Kalimantan Timur terdapat ladang minyak, khususnya di Kota Bontang malahan terdapat pabrik pengolahan gas elpiji terbesar di Indonesia bahkan kualitasnya diakui merupakan yang terbaik secara internasional sehingga biasa dipesan oleh negara Korea, Taiwan, dan Jepang. Sungguh suatu ironi, penghasil bahan bakar tapi justru membeli bahan bakar dari negara lain. Ini namanya ibarat “mati lampu diladang minyak.” Sungguh ironis memang, disaat pemerintah gencar mengkampanyekan produk dalam negeri, tapi di negeri sendiri produk itu sulit didapatkan. Saya mengutip kata-kata Bang Haji Rhoma Irama “terlalu!” 


Gas Elpiji produksi Malaysia, banyak di perbatasan (image from http://data.tribunnews.com)
Gas Elpiji produksi Malaysia, banyak di perbatasan (image from http://data.tribunnews.com)


Yang lebih menyedihkan lagi, semua barang-barang kebutuhan warga itu dibeli dengan harga yang sangat mahal, tapi apa boleh buat harus tetap dibeli. Hal tersebut terpaksa dilakukan warga karena tidak ada lagi alternatif lain yang dapat dilakukan untuk bertahan hidup selain membeli dari wilayah Malaysia. Berharap ada barang kebutuhan “made in” dalam negeri adalah hal yang jauh dari harapan. Dari dulu justru bahan-bahan kebutuhan pokok itu lebih mudah didapatkan dari produk Malaysia. Walaupun harganya lebih mahal, untuk mendapatkannya pun mereka tidak terlalu susah. Ibarat kata tinggal “nyebrang” ke negara tetangga, bahkan dengan jalan kaki pun bisa. Bagaimana tidak mudah karena ternyata infrastruktur di Malaysia jauh lebih bagus daripada di Indonesia. Pemerintah Malaysia sangat memperhatikan sarana jalan di wilayah itu, meskipun terletak di perbatasan. Walaupun tidak di aspal, tapi minimal sudah rata dan bersih. Begitu pula dengan pemukiman penduduknya, tertata dengan rapi. Hal ini beda sekali dengan yang saya lihat di tayangan televisi waktu itu. Jalanan di perbatasan yang merupakan wilayah Indonesia sangat-sangat memprihatinkan. Sudah jalannya tidak rata, berlumpur, dan kelihatan kotor. Jangankan untuk lewat kendaraan roda empat, kendaraan roda dua aja mesti didorong oleh penumpangnya kalo tidak ingin terperosok ke dalam kubangan lumpur. Pemukimana penduduknya juga tidak tertata rapi dan cenderung kotor. Benar-benar pemandangan yang kontras, padahal kedua negara ini hanya berjarak beberapa meter dan hanya dibatasi oleh pos perbatasan yang sangat sederhana. Ya seperti yang saya lihat di tayangan televisi itu pula, pos penjagaan di perbatasan sungguh sangat sederhana. Hanya berupa bangunan yang menurut saya hanya semi permanen dengan peralatan yang seadanya pula. Bagaimana mungkin hal yang seperti ini luput dari perhatian pemerintah. Ini pos penjagaan perbatasan, bukan pos kamling! Jangankan persenjataan lengkap, alat pendeteksi semacam radar saja tidak ada. Bagaimana pertahanan kita seandainya diserang musuh? Bagaimana nih Pak Menteri Hankam?
Jalan di kecamatan Krayan yang berbatasan dengan Malaysia (image from http://kaltim.tribunnews.com)
Jalan di kecamatan Krayan yang berbatasan dengan Malaysia (image from http://kaltim.tribunnews.com)

Ternyata penderitaan warga di perbatasan tidak sebatas itu
. Kondisi ini ternyata makin sulit dirasakan warga ketika isu seputar perbatasan Indonesia-Malaysia kembali mencuat akhir-akhir ini. Memanasnya situasi ini ternyata membuat Malaysia berusaha memutus akses jalan yang biasa dilalui warga jika hendak berbelanja kebutuhan pokoknya. Bisa kita bayangkan bukan, kemungkinan besar ketiga kecamatan di perbatasan itu akan terancam krisis kebutuhan. Dan bisa dipastikan yang akan terjadi selanjutnya, aktifitas perekonomian di wilayah itupun bisa lumpuh. Akibat yang jelas-jelas kentara adalah melonjaknya harga bahan-bahan kebutuhan itu hingga sepuluh kali lipat dari harga biasanya. Begitulah kira-kira nasib para warga di tiga kecamatan dekat perbatasan itu.


kondisi jalan di wilayah Malaysia di perbatasan, lebih bersih (image from http://www.hariansumutpos.com)
kondisi jalan di wilayah Malaysia di perbatasan, lebih bersih (image from http://www.hariansumutpos.com)


Kondisi ini sebenarnya harus cepat direspon oleh pemerintah pusat agar kesulitan warga di perbatasan cepat teratasi. Kalo pemerintah pusat tidak tanggap dan lamban dalam bertindak, dikhawatirkan kekecewaan warga diperbatasan ini akan memuncak. Dan karena kehilangan kesabaran, maka bisa-bisa rasa nasionalisme mereka hilang dengan “menggadaikan” wilayahnya ke Malaysia. Bisa-bisa mereka benar-benar membuktikan ancaman mereka yang berniat memindahkan patok-patok di perbatasan. Kalo sudah begini, siapa yang pantas disalahkan?
Menurut saya ini sebenarnya bukan sekedar persoalan warga Indonesia di perbatasan yang tak cinta negeri ini. Tapi lebih dikarenakan adanya faktor ekonomi. Mereka memilih mendapatkan kehidupan yang lebih layak, khususnya dalam hal memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang ternyata lebih mudah didapatkan dari negeri tetangga itu.
Guna mencegah hal ini terjadi, maka tentunya harus ada perhatian lebih dari pemerintah,  baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemerintah provinsi pun harus terus berupaya untuk membangun kawasan di perbatasan. Dan karena ini sudah menyangkut masalah kedaulatan NKRI, maka hal ini tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah provinsi. Kalo hanya pemerintah daerah, saya yakin masalah ini tidak akan pernah tuntas. Kita tentu sepakat dengan ungkapan “hilangnya uang tak sebanding dengan kita kehilangan kedaulatan NKRI” bukan? Jadi alangkah baiknya jika cerita seputar perbatasan ini segera saja dituntaskan. Memang tidak mudah, tapi kalo kita tidak segera bertindak ya jangan salahkan mereka para warga di perbatasan yang kecewa itu. Minimal harus ada alokasi anggaran untuk pembangunan di perbatasan. Perbatasan itu kan wilayah NKRI juga, ya tho?


Jadi alangkah tidak lucunya jika kita sibuk mendengungkan kembali esensi dari Sumpah Pemuda kemarin, “Kami Bangsa Indonesia mengaku, bertumpah darah satu, tanah air Indonesia, berbangsa yang satu bangsa Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia, sementara ada sebagian warganya yang kebetulan berada di perbatasan, tapi karena merasa tidak di perhatikan kesejahteraannya oleh pemerintah dengan sangat terpaksa tidak merasakan kebanggaannya sebagai Bangsa Indonesia itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

berkomentarlah..... karena Indonesia demokrasi...