Jurnalistik MUSIK Indonesia Hanya SAMPAH
Para
Jurnalis musik, kini bukan lagi malaikat bagi para seniman penggiat music,
tetapi semakin menjadi boomerang dalam karir bermusik mereka (Para
Seniman). Jelas saja, kini para jurnalis
bukan lagi mementingkan kualitas musik dari berbagai genre, bukan lagi membahas
ketajaman seorang seniman menciptakan sebuah karya yang baik, memperhatikan
sejauh mana arti dari karya musiknya, seperti lagu Donna..Donna.. karya Joan
Beaz. Itu sungguh luar biasa pemaknaan dalam bait – bait yang seakan – akan
menginginkan kebebasan tetapi terbelenggu kekuatan yang sulit untuk kita lawan.
Tetapi entah kenapa semakin
beranjaknya tua negeri ini, semakin heboh dengan issu mengenai kehidupan para
seniman musik, membahas tuntas kebiasaan – kebiasaan yang di lakukan para
seniman, hanya sebatas pada meliput kesehariannya saja (kehidupan sehari –
harinya). Misalnya, kehidupan seorang
pemusik yang paling popular di Tahun yang dikatakan menua tapi semakin alay.
Contoh dari sekian banyak seniman, katakanlah “Ariel” seorang “Vocalist Band”,
Media gempar, geger, dan bahkan Histeris ketika kehidupan sang vocalist itu
terbukti melakukan tindak asusila dengan kekasihnya. Media yang saya fikir
menjunjung tinggi martabat medianya, menjaga berita – beritanya dari berbagai
hal yang picisan ikut serta meramaikan tragedi ini.
Media seakan tidak peduli dengan
orang – orang yang berintelektualitas tinggi, yang mana kehidupannya cenderung
untuk belajar, ketimbang mengurusi rumah tangga orang lain yang jelas tidak
berguna bagi kelangsungan hidupnya. Tidak peduli dengan para penggiat seni yang
menunggu kabar baik tentang prestasi musik Indonesia di mata dunia.
“Ariel” Seharusnya menjadi
penting, dan sangat berharga dari syair – syair yang di buatnya. Tragedi dalam
hidupnya, yang di muat di media macam tragedi Bintaro seharusnya menjadi
sepercik saja pengaruhnya bagi dunia musik. Karena Ariel lebih baik ketimbang musik yang
mulai menjamur di Indonesia (musik korea). Sebetulnya musik korea pun menjadi
sangat inspiratif bagi Indonesia, seniman Indonesia dapat belajar bagaimana
cara menyatukan seni tarinya, kostum, make – up, dan Suara. Tetapi lagi – lagi
Media tidak menampilkan kualitas terbaik dari hal tersebut. Music korea itu di
tangkap oleh Industri menjadi sebuah keseksian, kecantikan/ ketampanan, dan
mempublikasikan kostum korea.
Muak rasanya jika harus di
uraikan lebih dalam, pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa memang Jurnalistik
Musik itu hanyalah sampah, dari sekian banyak sampah yang masih bisa di daur
ulang. Kita masih bisa untuk mengulang sampah ini menjadi sedikit lebih
berharga, karena ada pepatah lagi yang sudah banyak membuktikan segala hal,
bahwa “Sedikit demi sedikit lama lama membukit”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
berkomentarlah..... karena Indonesia demokrasi...